Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 1999
Tentang : Pengendalian Pencemaran Udara
Tentang : Pengendalian Pencemaran Udara
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa udara
sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi
kehidupan manusia serta mahluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;
kehidupan manusia serta mahluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;
b.
bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi
lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijainin mutunya melalui pengendalian
pencemaran udara;
c. bahwa
berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai
pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
Mengingat :
1.
Pasal 5 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nor68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1.
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;
dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;
2.
Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan
mutu udara;
3. Sumber pencemar adalah setiap usaha
dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
4.
Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur Lingkungan hidup lainnya;
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur Lingkungan hidup lainnya;
5.
Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;
6.
Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi;
7.
Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi,
dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara am bien;
dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara am bien;
8.
Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana
mestinya;
9.
Emisi ada zat,
energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dalam suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien
yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar;
10.
Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan udara am bien;
11.
Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari
sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak spesifik;
12.
Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan
bermotor;
13.
Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu
tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
14.
Sumber adalah
sumber emisi yang tetap pada suatu tempat
15.
Sumber adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari hutan dan pembakaran sampah
16.
Baku mutu emisi sumber adalah batas kadar maksimal dan/atau beban emisi maksimum yang
diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke
dalam udara ambien;
17.
Ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas
maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
18.
Sumber
gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan
mesin udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak atau sumber tidak bergerak spesifik;
mesin udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak atau sumber tidak bergerak spesifik;
19.
Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang
diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat;
20. Ambang
batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas
maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraaan bermotor;
maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraaan bermotor;
21.
Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
22.
Kendaraan
bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang
menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23.
Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit
atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
24.
Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
25.
Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
26.
Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak
mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan mahluk hidup lainnya;
mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan mahluk hidup lainnya;
27.
Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu udara;
28.
Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
29.
Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
30.
Gubernur
adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi
pengendalian dan usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak
spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian emisi dan/atau sumber gangguan yang
bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU UDARA
PERLINDUNGAN MUTU UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada
baku mutu udara ambien status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang
baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan
dan Indeks Standar Pencemaran Udara.
Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien
Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 4
(1)
Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya
pencemaran udara sebagaimana terlampir dalam
Peraturan Pemerintah ini;
(2)
Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5(lima) tahun.
Pasal 5
(1)
Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan
status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan.
(2)
Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara ambien nasional
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara ambien nasional
(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan
ketentuan sama dengan atau lebih ketat dan baku mutu udara ambien nasional.
(4) Apabila
Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien
daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima)
tahun.
(6) Kepala instansi yang bertanggung jawab
menetapkan pedoman teknis
penetapan baku mutu udara ambien daerah.
penetapan baku mutu udara ambien daerah.
Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien
Status Mutu Udara Ambien
Pasal 6
(1)
Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/
atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorotogis dan geografis, serta tata guna ta na h.
atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorotogis dan geografis, serta tata guna ta na h.
(2)
Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengend dampak
lingkungan daerah melakukan kegiatan Inventanisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
lingkungan daerah melakukan kegiatan Inventanisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Gubernur
menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan
hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
(4)
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman
teknis penetapan status mutu udara am
bien.
Pasal 7
(1)
Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
menunjukkan status mutu udara ambien daerah
berada di atas baku mutu udara ambien nasional, Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien
daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.
(2)
Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggu dan pemulihan mutu udara ambien.
Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Pasal 8
(1)
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan
ambang batas em isi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
(2)
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter
dominan dan kritik kualitas bahan bakar dan
bahan baku, serta teknotogi yang ada.
(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan
ambang batas emisi gas
buang kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dap ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
buang kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dap ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 9
(1)
Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap batas mutu emisi sumber
tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
(2)
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran
udara sumber tidak bergerak dan sumber berg era k.
Bagian Kelima
Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan
Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan
Pasal 10
(1)
Kepala instansi yang bertanggung jawab rnenetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak
bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan
bermotor.
(2)
Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a.
baku tingkat
kebisingan;
b.
baku tingkat
getaran;
c.
baku tingkat
kebauan dan;
d.
baku
tingkat gangguan lainnya.
(3)
Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
(4)
Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.
pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.
(5) Baku
tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas
kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 11
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan
pengkajian terhadap baku tingkat gangguan
sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
(2)
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis
pengendalian pencemaran udara sumber gangguan dan sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.
Bagian Keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 12
(1)
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara.
(2)
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika.
ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika.
Pasal 13
Kepala instansi yang
bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta
informasi Indeks Standar Pencemar Udara
Pasal 14
(1)
Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun
pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan
pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan
(2)
Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dipergunakan untuk :
dapat dipergunakan untuk :
a.
bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu
tertentu;
b.
bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemenintah daerah dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara.
Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dan
pengoperasian stasiun pemantauan kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan
kepada masyarakat.
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 16
Pengendalian pencemara udara
meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan
melakukan inventarisasi mutu udara
ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan
keadaan darurat.
Pasal 17
(1)
Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran
udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2)
Kebijaksanaan
teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setetah 5
(lima) tahun.
Pasal 18
(1)
Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Bupati/Watikolamadya Kepala Daerah
Tingkat II.
(2)
Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Gubernur.
(3) Kebijaksanaan
operasional pengendalian pencemaran udara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setetah 5 (lima) tahun.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setetah 5 (lima) tahun.
Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup
Pencegahan Pencemaran Udara dan Persyaratan Penataan Lingkungan Hidup
Pasal 20
Pencegahan pencemaran udara
meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya
pencemaran udara dengan cara :
a. penetapan baku mutu udara ambien, baku
mutu emisi sumber tidak
bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab I Peraturan Pemerintah ini;
bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab I Peraturan Pemerintah ini;
b. penetapan kebijaksanaan pengendalian
pencemaran udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan 19.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan 19.
Pasal 21
Setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gaugguan ke udara ambien wajib :
a.
menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan
yang dilakukannya;
b.
melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
dilakukannya;
c. memberikan informasi yang benar dan akurat
kepada masyarakat
dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/ atau kegiatannya.
dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/ atau kegiatannya.
Pasal 22
(1)
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
(2)
Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditertibkan oleh pejabat berwenang
dengan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 23
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi
melampaui ketentuan yang telah
ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 24
(1)
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hid up, maka peja bat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan rnenanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya.
dampak lingkungan hid up, maka peja bat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan rnenanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai
baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dicantumkan
sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara
Pasal 25
(1)
Setiap orang
atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan
upaya penanggulangan dan pemulihannya.
(2)
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknikal penanggulangan dan pemulihan pencemaran
udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Paragraf 1
Keadaan Darurat
Keadaan Darurat
Pasal 26
(1) Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks
Standar Pencemar
Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya, maka :
Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya, maka :
a.
Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional;
b.
Gubernur
menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya.
(2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media etektronik
dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media etektronik
Pasal 27
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan
pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat
pencemaran udara
Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak
Sumber Tidak Bergerak
Pasal 28
Penanggulangan pencernaran
udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah
ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di
sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 29
(1)
Instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber tidak
bergerak.
(2)
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara sumber tidak
bergerak.
Pasal 30
(1)
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati
ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan.
(2)
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan
emisi wajib menaati ketentuan persyaratan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Paragraf 3
Sumber Bergerak
Sumber Bergerak
Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber
bergerak meliputi pengawasan terhadap
penaatan ambang batas emisi buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di
sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas
buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang
rendah sesuai standar internasional.
Pasal 32
(1)
Instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan plaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber
bergerak.
(2)
Kepala
instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan
pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak.
Pasal 33
Kendaraan bermotor tipe
baru danbermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor.
Pasal 34
(1)
Kendaraan
bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi
(2)
Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe emisi.
(3)
Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe
baru.
(4)
Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang tata
jalan.
Pasal 35
(1) Hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe
baru yang dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang tata lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4), wajib disampaikankepada Kepala instansi yang bertanggung dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
instansi yang bertanggung jawab di bidang tata lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4), wajib disampaikankepada Kepala instansi yang bertanggung dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(2)
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka
parameter-parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3)
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil
ujii tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal 36
(1)
Setiap kendaraan berrnotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instan yang bertanggung jawab.
Paragraf 4
Sumber Gangguan
Sumber Gangguan
Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dan kegiatan
sumber gangguan meliputi pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari
kegiatannya dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 38
(1)
Instansi yang
bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara
dan sumber gangguan.
(2)
Kepala
instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan
pencemaran udara dan kegiatan sumber gangguan.
Pasal 39
(1)
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan
(2)
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan
gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru
dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi ambang bats kebisingan.
Pasal 41
(1)
Kendaraan
bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan
(2)
Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe
kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberi tanda lulus uji tipe kebisingan
(3)
Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode uji
tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru
(4)
Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan
oleh onstansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
oleh onstansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 42
(1)
Hasil uji
tingkat kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat 4 , wajib disampaikan kepada kepala instansi yang bertanggung jawab dan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan.
(2)
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib mengumumkan hsil uji tipe kebisingan kendaraan
bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab
menetapkan pedoman teknis
tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Pasal 43
(1)
Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan
berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 setiap satu tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.
bermotor lama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 setiap satu tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB IV
PENGAWASAN
PENGAWASAN
Pasal 44
(1)
Menteri melakukan pengawasan terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
(2)
Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 45
(1)
Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah
Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab dan atau kegiatan yang membuang emisi dan atau gangguan
Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab dan atau kegiatan yang membuang emisi dan atau gangguan
(2)
Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Gubernur/Bupati/Watikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Gubernur/Bupati/Watikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 46
Hasil pemantauan yang
dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib
dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1
(satu) tahun.
Pasal 47
(1)
Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasam 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dan dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa pera memeriksa instalasi serta meminta keterangan dan pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
dalam Pasam 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dan dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa pera memeriksa instalasi serta meminta keterangan dan pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2)
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) waib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) waib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Setiap
pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda
pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib :
a.
mengijinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut;
b.
memberikan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;
c.
memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
d.
mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara
ambien dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan
e. mengizinkan pengawas untuk melakukan
pengambilan gambar
dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.
dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.
Pasal 49
Hasil inventarisasi dan
pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat gangguan dan
indeks standar pencemar udara yang dilakukan
oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan
disebarluaskan kepada masya ra kat.
Pasal 50
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan
menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 51
(1)
Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu udara ambien.
(2)
Hasil
pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi
yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(3) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh
masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.
dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.
BAB V
PEM BIAYAAN
PEM BIAYAAN
Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari
upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau
gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatandibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan.
Pasal 53
Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian
tipe emisi dan kebisingan kendaraan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan
kepada perakit. Pembuat, pengimpor kendaran
bermotor.
BAB VI
GANTI RUGI
GANTI RUGI
Pasal 54
(1)
Setiap orang
atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menaggung biaya penanggulangan
pencemaran udara serta biaya pemulihannya.
(2)
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak
yang dirugikan.
Pasal 55
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan
pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VII SAN KSI
Pasal 56
(1)
Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat 2,
Pasal 23,Pasal 24 ayat 1, Pasal 25 ayat 1, Pasal 30, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 47 ayat 2, Pasal 48, Pasal 50 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan atau mengakibatkan pencemaran udara dan atau gangguan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 44, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 23,Pasal 24 ayat 1, Pasal 25 ayat 1, Pasal 30, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 47 ayat 2, Pasal 48, Pasal 50 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan atau mengakibatkan pencemaran udara dan atau gangguan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 44, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(2)
Barang siapa melanggar ketentuan dalam pasal 33 yang berkaitan
dengan kendaraan bermotor lama, pasal 36 ayat 1, pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan pasal 43 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 67 undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
dengan kendaraan bermotor lama, pasal 36 ayat 1, pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan pasal 43 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 67 undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Selambat-lambatnya dua tahun sejak diundangkannya peraturan pemerintah
ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang
telah memliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan
peraturan pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat berlakunya
Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang undangan tentang pengendalian pencemaran udara tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 59
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
PROF. DR. H. MULADI S.H.
Salinan sesuai dengan
aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan
ttd.
Lambock V. Nahattands
No comments:
Post a Comment